Membebaskan Intelektualitas Mahasiswa dari Himpitan Individualisme
( Sebuah Upaya Mengembalikan Peran Mahasiswa )
( Sebuah Upaya Mengembalikan Peran Mahasiswa )
“ Ijazah perguruan tinggi di Singapura, katanya juga nggak malu-maluin kalau ditenteng ke luar negeri. “ Mau ke Australia, Amerika, hingga Eropa, kita bisa pakai. Mereka yang berijazah NTU atau lulusan NTU standar SDM-nya sudah diakui dunia secara global,” lanjutnya.
Hal inilah yang membuatnya enggan jika terpaksa harus kembali ke Indonesia. ” Belum ada minat kembali, di samping saya masih terikat kontrak kerja, tak ada salahnya jika kita menimba ilmu sebanyak-banyaknya di negeri orang. Mumpung ada kesempatan,” ucap pria berkulit putih ini. ( Surya, 1 Desember 2008 )
Potret kaum intelektual yang disebut mahasiswa memang bermacam-macam. Zaman modern dalam lingkungan global saat ini telah membentuk lingkungan baru yang dapat merubah persepsi manusia tentang kehidupan, tidak terkecuali mahasiswa.
Secuil berita yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya adalah salah satu potret kaum intelektual Indonesia. Dalam struktur jenjang pendidikan julukan itu tentunya disandang oleh mahasiswa karena pada fase inilah manusia disiapkan untuk menjadi penerus estafet generasi tua dengan segala intelektualitas yang dimilikinya dan idealismenya. Mahasiswa bukan hanya sebuah status tapi juga menunjukkan sebuah peran yaitu sebagai generasi yang akan melakukan perubahan dan perbaikan bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan kuatnya pengaruh ideologi Kapitalisme dalam sistem kehidupan maka fungsi tersebut bergeser menjadi fungsi yang berorientasi pada status diri dan kemakmuran pribadi. Mahasiswa ibarat seorang nakhoda dalam sebuah kapal yang akan tenggelam, kemudian nakhoda itu hanya ingin menyelematkan dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana keadaan penumpang lainnya. Keadaan inilah yang saat ini menghinggapi mayoritas mahasiswa di Indonesia. Jatuh dalam kubangan individualisme, yang tidak lain adalah dasar kehidupan dari sistem Kapitalisme, tanpa menyadari potensi intelektualnya. Padahal peran yang dilakukan mahasiswa adalah salah satu modal untuk keluar dari krisis kehidupan yang melanda Indonesia saat ini. Sehingga mengembalikan peran mahasiswa untuk menyelematkan “kapal” yang bernama Indonesia dan seluruh penumpangnya menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Jika kita mengamati kembali sepenggal berita di paragraf awal maka dapat diketahui bahwa potensi mahasiswa Indonesia sebenarnya sangat besar. Bahkan sebenarnya julukan “bangsa indon” atau bangsa budak yang diberikan oleh masyarakat Malaysia kepada Indonesia dapat dibantah dengan sendirinya. Namun untuk keluar dari krisis ini tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak mahasiswa Indonesia yang pergi ke luar negeri atau berapa banyak mahasiswa Indonesia yang memenangkan olimpiade. Karena mayoritas mahasiswa Indonesia yang memiliki kemampuan intelegensia yang tinggi ternyata lebih memilih untuk bekerja di luar negeri. Alasan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah dan kurang terjaminnya kemakmuran adalah sedikit sebab yang membuat keadaan ini terjadi.
Persepsi mengenai mengutamakan kesejahteraan diri sendiri tidak muncul bergitu saja. Tapi persepsi yang ada di kepala individu-individu tersebut muncul karena sistem kehidupan yang ada saat ini secara tidak langsung memaksa pikiran mereka untuk mengikutinya. Sistem kehidupan Kapitalisme telah membentuk mahasiswa-mahasiswa Indonesia saat ini untuk berpikir individualis sehingga tidak heran jika ada mahasiswa Indonesia yang lebih memilih bekerja di luar negeri daripada kembali ke negeri sendiri. Yang terjadi adalah harapan masyarakat untuk terjadinya suatu perubahan yang dimulai dari para intelektual yang telah menimba ilmu di luar negeri sangat jarang terjadi. Walaupun ada maka para intelektual itu tidak dapat membedakan ilmu apa yang seharusnya diterapkan di Indonesia dan ilmu apa yang seharusnya tidak boleh diambil. Karena perlu disadari bahwa ilmu yang diperoleh dari luar negeri kebanyakan mengandung nilai-nilai liberalisme bangsa barat dan sedikit yang bernilai universal. Maka dari itu seorang intelektual haruslah cerdas dalam menghadapi fenomena ini.

Untuk mengembalikan mahasiswa ke dalam perannya sebagai agen perubahan haruslah dimulai dari membebaskan persepsi mahasiswa dari individualisme. Individualisme merupakan akar dari ketidakpedulian mahasiswa terhadap keadaan sekitarnya. Seperti halnya ketika kita sakit, maka dokter harus mengetahui akar penyakitnya sebelum memberi obatnya. Jika individualisme masih ada dalam diri mahasiswa maka intelektualitas mahasiswa hanya akan mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiri dan pihak yang berkepentingan untuk memanfaatkan potensi intelektualnya.
Individualisme didasarkan pada anggapan bahwa manusia adalah insan individu. Dilihat dari sejarah perkembangan agama di Eropa, individualisme diidentifikasikan dengan reformasi Protestan yang dipelopori Marthin Luther. Paham ini berpangkal pada keyakinan bahwa keselamatan individu telah dijamin oleh rahmat Tuhan tanpa campur tangan Gereja Katholik. Individualis-me juga mempunyai kaitan dengan munculnya kapitalisme yang mementingkan usaha individu dan imbalan berupa uang (financial) bagi mereka yang berkarya (Suhardiman: http://www.tokohindonesia.com ). Individualisme berkaitan dengan persepsi seseorang mengenai kebahagiaan hidup. Persepsi kebahagiaan hidup didasarkan pada kepuasan pribadi yang akhirnya berpangkal pada uang sehingga individualisme tidak dapat dipisahkan dari Kapitalisme. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Maka diperlukan adanya perubahan persepsi mengenai kebahagiaan hidup pada diri manusia bahwa kebahagiaan sebenarnya ketika kita dapat bermanfaat bagi orang lain.
Perubahan makna kehidupan tidaklah cukup ketika akar yang paling mendasar dari individualisme tidak dicabut. Anggapan bahwa keselamatan individu telah dijamin oleh rahmat Tuhan menunjukkan bahwa agama sebenarnya tidak boleh ikut campur dalam mengatasi persoalan kehidupan. Padahal hal itu dapat menghilangkan kontrol atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Yang terjadi adalah adanya aksi-aksi mahasiswa yang cenderung anarkis. Aksi anarkis dilakukan oleh mahasiswa karena mereka lupa akan adanya sebuah pertanggungjawaban yang akan dihadapi di akhirat kelak. Bahwa sebenarnya ibadah bukan hanya di tempat ibadah saja seperti masjid dan gereja tapi juga ketika mahasiswa melakukan perannya sebagai agen perubah. Sehingga intelektualitas mahasiswa harus didasari oleh kecerdasan spiritual agar intelektualitas mahasiswa terbebas dari motovasi-motivasi materi dan nafsu individu yang cenderung tidak terkontrol.
Mahasiswa sebagai golongan intelektual tidak cukup hanya melakukan perubahan pada dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Dawam Raharjo mengenai golongan intelektual yang didefinisikan sebagai:
“golongan terpelajar yang sekolahan atau bukan (termasuk drops-outs), yang peranannya tidak mesti berkaitan dengan ilmu yang dipelajari atau profesi yang dikuasai. Dan yang lebih penting mereka berperan sebagai kritikus sosial, bersifat emansipatoris dan liberatif, berpola pikir yang hermeneutis dan kerap kali bersikap politis. Mereka adalah golongan yang merasa dirinya bebas.”
Mahasiswa sebagai golongan intelektual adalah golongan yang bebas dari segala kepentingan tapi bukan berarti mahasiswa tidak dapat melakukan perjuangan politik. Intelektualitas mahasiswa merupakan bekal bagi mahasiswa untuk melakukan perjuangan politik. Perjuangan politik dilakukan dengan melakukan kritik sosial terhadap berbagai kebijakan pemerintah dengan cerdas. Cerdas dalam arti dilakukan dengan cerdas dan mengedepankan sebuah solusi bukan hanya mengedepankan sebuah kritik belaka. Solusi yang dikemukakan bukanlah solusi yang bersifat pragmatis dan tambal sulam saja tapi juga solusi yang berdasarkan analisis cerdas. Semua itu dapat dilakukan dengan potensi intelektual mahasiswa.

Solusi cerdas dari sebuah intelektualitas yang terbebas dari individualisme akan menjadi sebuah solusi yang menentramkan jiwa jika didasari oleh kesantunan jiwa. Kesantunan jiwa akan muncul jika intelektualitas tidak melupakan sebuah peran yang lebih besar dari akal pikiran manusia itu sendiri yaitu Tuhan Pencipta Alam Semesta. Sehingga dengan sebuah perombakan intelektualitas tersebut maka mahasiswa dapat melakukan perannya tanpa adanya himpitan individualisme yang justru akan menghambat terjadinya perubahan itu sendiri.
Referensi :
- buku Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa hal 80. Dawam Raharjo dikenal pelopor dalam “islamisasi Ilmu” versi Ismail Raji Al Faruqi dengan mendirikan IIIT Indonesia selain tokoh LSM dan Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah 2000-2005 dalam http://oarep.wordpress.com
- Surya hari Senin tanggal 1 Desember 2008
- Suhardiman. Analisis Tentang Teokrasi, Individualisme, Kapitalisme dan Sosialisme. http://www.tokohindonesia.com
- Matla, Husain. Demokrasi Tersandera. 2007. Semarang : Penerbit Big Bang
- Esai Politik Nurani : Resensi Buku "DARI DEMONSTRASI HINGGA SEKS BEBAS". http://perpustakaanonline.freehostia.com/
*)
Essay ini ditulis dalam ajang Lomba Essay LSME Universitas Brawijaya (UB) Desember 2008-Januari 2009
Tema Essay yang diperlombakan "Efektivitas Peran Mahasiswa Dalam Upaya Memperbaiki Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia"
Juara 1
Daripada hanya disimpan dan terancam kena virus, atau malah hilang entah kemana (aku sering gak sengaja mengahapus atau kehilangan flashdisk, hiks T_T ), mending diposting di sini aja. Semoga bermanfaat bagi teman2 ^_^
Regards,
Fath
Next CEO
http://myusmozaic.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar