
“Ayo siapa yang punya pendapat lain, silahkan di ungkapkan, kita diskusikan bersama !"
Sebuah kalimat penutup yang bernada menantang itu dilemparkannya pada kami, mahasiswanya. Seisi kelas mulai saling berpandangan, aku tahu teman-teman mulai merasa gelisah, kasak-kusuk, ada pergolakan dalam hati dan otak mereka. Pendulum pemikiran bergerak-gerak menghadapi terpaan.
Ini bukan sekedar diskusi tugas makalah kuliah, bukan angka-angka IPK yang dipertaruhkan. Tidak !, bukan sekedar tujuan dangkal seperti itu. Ini jauh merasuk terjun ke dasar palung jiwa manusia. Sesuatu yang akan menentukan pemikiran, paradigma dan tindakan. Mengkristal dalam prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dan dilindungi.

Ada apa gorengan,eh gerangan ?
Beberapa menit yang lalu dosenku memberi pemaparan di kelas, tapi bukan kuliah ekonomi seperti yang seharusnya. Kira-kira begini, gak sama persis, intinya saja.
“Tuhan itu hanya 1 namun menampakkan sisi-sisi yang berbeda di setiap agama. Misalnya Islam kebagian sisi sebelah kiri atasnya, sedangkan Kristen melihat dari sisi kanan depan. Kalau harus diilustrasikan.....” , beliau berjalan ke arah papan, menggambar gedung atau apalah, gambarnya gak jelas.
“.......ini seperti ketika kita melihat sebuah monument yang amat tinggi,” oalah... ternyata itu gambar monument, haha...
“Bisa jadi dari tempat kamu berdiri...”, menunjuk pada jidat temenku yang sedang mlongo.
“...kamu bisa melihat beberapa bagian yang saya tidak bisa melihatnya dari tempat saya berdiri. Begitu juga dengan kamu...” menunjuk ke temenku yang lagi pura-pura nyimak padahal tangannya grepe-grepe tombol henpon, ber-sms ria. “... bisa jadi kamu malah bisa melihat kalau monumen itu ternyata punya puncak yang indah”.
“Selanjutnya kita tahu bahwa pada kenyataannya setiap agama mengajarkan kepada kebenaran. Iya kan?”, yang ditanya pada diem termasuk aku. “ Tidak ada satu agama pun yang membenarkan perbuatan seperti kekerasan, menghujat agama lain, dan sejenisnya. Kalaupun pada kenyataannya kita menjumpai orang-orang beragama yang terlibat dalam tindakan tercela seperti itu, bagi saya itu adalah orang yang memeluk agamanya dengan cara yang bodoh. Orang-orang bodoh yang menganggap hanya agamanyalah yang paling benar, sehingga tidak bisa menerima pandangan akan ajaran agama lain yang berbeda dengannya. Dan menurut saya, orang-orang bodoh seperti itu pasti ada pada setiap agama manapun. Merekalah yang menjadi PR besar untuk setiap pemuka agama masing-masing”. Sampai disini beliau berhenti, masih berdiri dengan gaya santai nan menawan sambil mengedarkan pandangan pada kami semua. Lagi-lagi menambahkan senyum. Lalu melanjutkan..
“Tuhan itu tidak hanya memiliki sisi-sisi yang baik saja, selama ini kita hanya melihat dari sisi-sisi baik saja, sebenarnya Tuhan itu kejam, karena Dia juga memasukkan umatnya ke neraka, kenapa tidak semuanya dimasukkan surga? lalu Tuhan itu sombong karena dia merasa dapat melakukan apa saja”
Waow !, menarik…beliau menyampaikannya dengan gaya yang anggun, seandainya kalian ikut berada dalam kelas waktu itu pasti akan merasakan bagaimana kemampuan retorikanya menghipnotis puluhan mahasiswa yang hadir. Hanya saja aku tidak bisa menggambarkannya dalam bentuk tulisan, maklum masih penulis ingusan (tisu, tisu, mana tisu? meler nih). Tapi aku bisa atraksi menirukan gaya beliau, asal kalian berani bayar mahal, hohoho…
Kok ngelantur sih? Sudah, sudah, kita kembali ke kelas…
Aku celingak-celinguk mencari satu sosok dari sekian temanku yang berani menjadi pionir menjawab tantangan dosenku itu. Dan…yaaah, gak ada satupun.
“Fath, hehe…”, temen yang duduk disampingku tiba-tiba menyodorkan mukanya, memperlihatkan deretan gigi tepat di dekat telinga kananku.
“Eh, apaan?”, sahutku kaget plus heran kenapa dia meringis gitu
“Terima tuh tantangan dosen, ayo jawab biar gak hampa gini”, dia ngomong bisik-bisik.
“Yeee…napa gak kamu sendiri ajah yang jawab?”.
“Hehe..”, meringis lagi
Krik, krik, krik…hening sepi senyap. Masih seperti tadi, teman-temanku masih berkutat dengan pikiran masing-masing.
“Oke, kalau tidak ada yang menanggapi diskusi ini saya kira cukup sekian, kita akan me…..”.
“ Saya pak !..”, aku berteriak lantang sambil mengacungkan tangan. Menyela kalimat dosenku yang menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pertemuan, gawat ! ini tidak bisa dibiarkan. Seketika…sreeett !, teman-temanku menoleh ke arahku, menyorotkan pandangan takjub, heran dan mungkin saja mencibir. Weeek biarin !
Aku udah gak tahan lagi, pengen muntahin isi kepala lewat kata-kata, gemeezz ma teori-teori yang disampaikan dosen. Sebelum aku meledak, karena sudah dari tadi adrenalin memompa jantung dengan kecepatan ekstra. Maka dengan mantab ku lontarkan pendapatku..
“ehem….seperti bapak, saya ingin sekali kalau kita dapat mengawali pembahasan ini dengan paradigma yang sama bahwa hanya ada 1 agama yang benar. Itu berarti, agama selainnya adalah salah. Mengapa? Karena seperti bapak bilang tadi, Tuhan pun hanya ada 1. Nah, jika memang demikian darimanapun sudut kita melihatnya, seharusnya Tuhan tetaplah 1. Jika boleh juga memakai ilustrasi, maka saya ingin menggunakan cerita tentang beberapa orang buta yang mendefinisikan tentang gajah berdasarkan bagian yang dipegang”. Sekarang giliran aku yang maju, menggambar gajah di whiteboard. Teman-teman tersenyum melihat gambar gajah yang ku hasilkan, hehe...jadi inget jaman masih TK.
“Salah satu orang buta mengatakan bahwa gajah itu lentur, kecil tapi panjang dan ada sejumput rambut menjuntai di ujungnya. Orang buta lain menyalahkan, dia mengatakan gajah tidak seperti itu, gajah adalah sesuatu yang cukup lebar, lentur seperti kipas. Karena tidak ingin ada kericuhan di dalam kandangnya, si penjaga gajah mengatakan: sudah gak usah ribut, kalian semua benar, tidak ada yang salah !. Yang pertama tadi meraba ekor gajah, yang kedua memegang telinga gajah. Tapi semuanya itu gajah, jadi penafsiran kalian tentang gajah itu benar seperti yang kalian raba. Akhir dari cerita itu, ada orang lain yang penglihatannya normal diam-diam menyaksikan kejadian tadi. Dia meluruskan, memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang gajah sehingga mereka memahami gajah dengan benar dan sempurna, bukan sebagian-sebagian seperti yang mereka definisikan berdasarkan apa yang mereka raba tadi.”, berhenti sejenak, menelan ludah.
“Ini ilustrasi yang lebih tepat sekaligus mejadikan point pembelajaran
tersendiri akan topik kita. keterbatasan yang dimiliki manusia sehingga hanya mampu
mendefinisikan Tuhan berdasar apa yang terindera saja tidaklah tepat kita jadikan sebuah pegangan bahwa : apa yang didefinisikan olehnya adalah benar. Itu sebabnya utusan-utusan langit diturunkan dari golongan makhluk yang bernama manusia untuk meluruskan berbagai definisi yang terpotong-potong, sekaligus meluruskan tata cara ketika harus berhubungan dengan Tuhan, berhubungan dengan makhluk Tuhan lainnya, dan tentu ketika manusia tersebut harus berhubungan dengan dirinya sendiri. Ini penting dan harus sampai pada tataran : BENAR”, dosenku mulai kelihatan berpikir, namun tetap dengan sikapnya yang cool padahal suasana mulai hot.
“Saya juga merasa tetaplah harus melihat ulang, apa benar semua kejadian yang
akhirnya di-just sebagai konflik antar agama adalah murni dilakukan oleh orang-orang bodoh, dengan arti “bodoh” yang bapak definisikan sebagai orang yang menganggap ajaran agamanyalah yang paling benar. Setidaknya saya sudah agak merasa tenang, karena diawal tadi bapak sudah menyatakan bahwa sebenarnya Tuhan disemesta alam ini hanya 1. Perbedaan nama dan agama antara kita hanyalah karena sudut tempat kita memandangNya yang berbeda. Tapi, bukankah ini seharusnya membuat perbincangan kita dapat lebih mengerucut, bahwa semakin banyak kejanggalan yang harus kita pecahkan untuk menuju 1 kebenaran?”, menelan ludah lagi, tenggorokan kering bo’, dari tadi nyerocos.
“Jika kita telah sepakat bahwa Tuhan adalah 1, maka bukankah dari sudut manapun kita memandangNya, seharusnya apa yang akhirnya keluar sebagai perintah dari sabdaNya pasti juga hal yang sama? ”.
“Ada lagi ! Semisal, bagaimana mungkin Tuhan memerintahkan pada umat Kristen untuk juga memuliakan Perawan suci maria dan puteranya, selain memuliakan diriNya; memerintahkan pada mereka untuk mengadakan perjamuan setiap minggunya,..sedangkan terhadap umat Islam, Tuhan memerintahkan untuk hanya MemuliakanNya, menyembahNya tanpa perantara 1 makhlukpun, melaksanakan shalat 5 kali dalam sehari. Apa mungkin, ketika Tuhan memerintahkan kepada umat Kristen, Dia memalingkan ‘wajah’Nya hanya ke umat Kristen, sehingga umat Islam tidak dapat melihat dan mendengar titahNya tersebut dari tempat kami berdiri? Dan begitu pula dengan kasus saya, apakah kiranya Tuhan secara khusus telah bicara hanya dengan saya, sehingga bapak tidak dapat melihat dan mendengar percakapan kami? Tentu saja tidak begitu, kan pak?”
Pak dosen mulai tergelitik membuka mulut, kelihatan ingin berkata-kata, tapi segera kusambar gelagatnya, ku julurkan lagi sulur pemikiran yang tesisa di otakku.
“ Semua yang saya katakan tadi belum ada apa-apanya, masih banyak sekali hal yang mampu menjelaskan bagaimana setiap agama saling kontradiktif satu sama lain. Taruhlah tentang Surga dan Neraka, pengakuan Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir, status Yesus/Nabi Isa as, tentang penyaliban dan lain sebagainya. Siapapun yang mau meneliti, mencermati, menganalisis sampai pada tingkatan pemikiran cemerlang, bukan berhenti pada tingkatan mendalam saja, apalagi dangkal, tentu tidak akan mencetuskan kesimpulan yang terangkum dalam kalimat sederhana: Semua agama sama dan benar. Tidak !, tidak akan mungkin !”.
“ Hehe..bisa dibayangkan jika semua agama sama dan benar, maka tidak salah kalau seseorang yang tidak sempat shalat lima waktu dan sholat Jumat, menggantikannya dengan pergi ke gereja untuk mengikuti kebaktian pada hari Minggu, atau sebaliknya bagi orang Kristen yang tidak sempat ke gereja hari Minggu karena ingin liburan, dia bisa ikut sholat Jumat sebagai ganti kebaktiannya. Dan tidak perlu lagi, jauh-jauh ke Makkah untuk ibadah haji, cukup digantikan pergi ke Bali mengikuti upacara Nyepi, setelah itu mampir ke pantai Kuta untuk berjemur “.
“Gerrr..hahaahaha…..” , teman-teman menyambut pengandaianku itu dengan tertawa lebar berbarengan, berderai.
“ Oh iya pak, jika mayoritas media telah memberi nama yang sama untuk setiap tindakan orang-orang yang sangat teguh memegang ajaran agama mereka, sehingga rela mengorbankan apapun dengan label : Radikal / fanatik, maka saya melihat bapak adalah sebagai orang kreatif pertama yang saya temui dengan memberikan label yang berbeda yaitu : orang-orang bodoh. Selanjutnya, saya malah menantikan bapak untuk bertanya kepada saya, “Mengapa di penjuru bumi ini, hanya umat islam yang secara continue meminta untuk tertegakkan syariat islam dalam mengatur kehidupan? Sedangkan umat beragama lain tidak pernah meminta agar umat ini diatur oleh syariat agama mereka”. Aku memandang dosenku dengan tersenyum dan anggukan takzim, tanda penghormatan.
“Baik saya hargai pendapat Fath, saya sudah bisa menarik point-point yang kamu sampaikan, dan oke…tentu saja ini menjadi bahan renungan ulang untuk pengokohan konstruksi kebenaran. Namun saya tidak ingin memagari diskusi ini hanya dengan Fath. Semuanya boleh mengungkapkan pendapatnya, walaupun bertentangan. Dengan begitu filter pemahaman kita akan bekerja semakin optimal tuk memilah”.
Hey itu tanggapannya, hmm…diplomatis. Ah iya dosen terkadang memang suka berbicara secara diplomatis tuk menjaga wibawa. Tapi tak apa setidaknya ada “yang baru” sebagai renungan. Toh aku tidak mengharapkan jawaban cepat sebagai hasil proses yang instan. Biarkan beliau berkembang…..hihihi..kayak pohon aja, sekalian aja berbuah.
“ Pak !”, temenku yang suka pake jaket merah angkat bibir, eh angkat tangan. Aku menggembungkan pipi sejenak, mengingat-ingat, sepertinya temenku yang pake jaket merah itu tidak ikut kelas ini, kok dia disini sih? salah masuk? entahlah, biarkan dia bicara.
“ Ya Bintang, silahkan”.
“ Bapak tadi bilang sebenarnya Tuhan itu kejam, karena Dia juga memasukkan umatnya ke neraka, kenapa tidak semuanya dimasukkan surga. Benar begitu pak? ”.
“ Iya ”
“ Bapak, kalau saya membunuh istri bapak apakah bapak akan memaafkan saya? apakah pantas imbalan untuk saya malah dinikahkan dengan anak bapak?”
“ Hmmm…terus? ”
“ Begitulah Tuhan memahami bahwa manusia butuh keadilan. Apakah pantas orang yang buruk justru mendapatkan surgaNya? kalau seperti itu sekalian saja tidak ada polisi, penjara, tentara dan lain lain, karena setiap yang melakukan kejahatan toh bukanlah penjahat.
“Bapak mau saya samakan dengan pemerkosa? kalau bapak tidak mau maka keadilan sudah ada dalam diri bapak. apakah yang melaksanakan keadialan itu dapat dikategorikan melakukan hal yang buruk? sebagaimana bila bapak menyumbang panti asuhan disamakan dengan koruptor kelas negara? tentu tidak kan pak. Ini dapat diartikan bahwa sudah Tepat Tuhan itu membuat neraka. Ya untuk supaya bapak tidak bisa disamakan dengan pemerkosa atau koruptor“.
“Wueeee….! ” Teriak seisi kelas
“ Sangar Bro !“, salah satu nyeletuk berkomentar.
Dosenku ikut tertawa. Sebuah diskusi yang asyik. Melihat dari binar-binar wajah yang terpancar aku yakin semua ingin melanjutkan diskusi ini sampai mendapat pencerahan dan masing- masing pulang dengan nafas lega, sensasi plong.
Kami semua sedang menanti tanggapan dari pak dosen. Tapi satu makhluk yang sejak tadi nempel di tembok dekat jendela itu tanpa merasa bersalah telah merusak suasana. Cepat-cepat dia menyela, sebelum pak dosen sempat mengeluarkan suaranya.
“Maaf pak ”
“Ya silahkan berpendapat sebelum saya lanjutkan”
“Saya tidak akan berpendapat panjang lebar seperti kedua teman saya tadi pak. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa waktu kuliah sudah habis pak. Saya sudah lapar tiada tara. Tadi saya nitip lalapan jamur ke teman saya, dia bilang menaruhnya di kotak dekat pintu. Klo saya gak segera pulang, saya takut lalapan saya diembat kucing pak”.
“Huuuu….!”, kontan seisi kelas berparade memonyongkan bibir.
“ Well, sayang sekali diskusi kita harus pending sampai disini dulu. Karena selain waktu kuliah yang sudah habis, ada teman kalian yang hampir pingsan. Saya akan memberikan tanggapan pada pertemuan berikutnya. Saya akhiri, Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh “
Ku pandangi langkah dosenku yang mengarah ke pintu. Aku tersenyum sendiri, ah pak dosen andai kau tahu aku ingin sekali mengatakan “aku sayang padamu pak !“, tapi gak jadi, ntar klo beliau GR gimana? hehe..
Aku sayang padamu pak, maka aku tidak akan membiarkanmu terjerumus dalam pemikiran yang sekilas nampak amat mulia namun sebenarnya sangat menyesatkan itu. Aku tidak akan membiarkanmu mempertaruhkan gelar proffesor yang kau sandang hanya karena analisis dangkal yang mudah terpatahkan.
Aku sayang kalian semua !
(please jangan muntah disini, ntar layarnya kotor :P)
Regards,
Fath
http://myusmozaic.blogspot.com